Kamis, 05 Mei 2011

cerpen ku

KERINGAT BATU KAPUR

Oleh:Seful Mu’min

Dengkurnya terhenti dari sumbernya. Ketika kakinya tersentuh tangan lembut seorang wanita. Berlahan mata terbuka. Suar sang jantan ayam jago peliharaan mendera ditelinga lelaki tua itu. Dibasuhlah atas wajah dalam basuhan wudhu. Raganya dihadapkan pada kiblat untuk menunaikan ibadah. Doa pun terucap dari sanubari.

Pagi buta langkahnya tertuju pada bukit batu kapur. Berlahan tapi pasti langkahnya terurai oleh nyanyian burung.Kesejukan udara ternikmati oleh wewangian kembang.Semangat bagai pagi menyingsing. Matanya terus memandang jalan setapak arah bukit batu kapur. Tiba pada saatnya segera ia tertuju pada bebatuan kapur. Disiapkan segera palu memecahnya.Tak terasa separuh hari sudah ia lewati .

Terik memekik siang itu.

Lelaki tua berpakaian lusuh bermandikan keringat dibawah matahari. Ditangannya terkepal palu.Punggunnya yang bongkok menjadi gambaran ia seorang pekerja keras.Lelaki tua yang bernama Sueb itu terus mengayunkan palu pada batu kapur. Setiap kali terpecik debu dari bongkahan batu kapur. Getaran tenaga mengalir deras ketika ayunan palu bertubi-tubi menghujam batu kapur. Sueb berharap dari serpihan batu kapur,ia bisa menafkahi keluarga. Semangat menggeliat dalam raga.

Ledakan berdenting dengan ayunan palu. Berirama rampak tanpa ada komando.Iramanya memberi pengharapan. Selama dentuman masih ada maka aktivitas pemecah batu kapur tak terhenti. Dentuman berasal dari bukit gunung batu kapur. Sebelum para kuli memisahkan untuk meleburnya dengan palu. Menjulang setinggi langit menerpa cakrawala. Warnanya yang putih kecoklatan.Sedikit gersang panas pada puncaknya. Dari pagi pada petang waktu, digumun orang-orang kuat sang pemecah batu kapur. Pekerjaaan sebagai pemecah batu sudah di jalani sejak pikirannya terbuka oleh peristiwa kegelisahan batin yang dialami Sueb. Sejenak ia menanggalkan palunya pada pohon mahoni. Punggungnya sejenak disandarkan. Mengusap keringat yang membanjiri lekukan tubuh tuanya. Helaan nafas ia nikmati melalui sepoi angin yang mendera. Matahari tak sedikitpun bergegas dari ubun-ubunnya. Tenggorokan keronta menjadikan nafasnya sedikit tersengkal. Dahaganya sejenak terguyur sebotol air yang dibawa dari rumah.

Matanya menerpa batas kedepan pangkal penjulang batu kapur. Tak ubahnya seperti waktu yang kian berubah. Gunung batu kapur tetap setia seperti matahari. Penjulang tingginya tak berubah.Tetap sama seperti dulu. Nampaknya usia gunung gamping lebih tua dari Sueb.Meski saban waktu dikurasnya alam itu namun tak henti habis oleh waktu.Walau sejengkal hijauan menghiasi julangan tinggi batu kapur. Hanya dihiasi tarian burung pipit melayang tanpa batas dipermukaan langit-langit.Suara kas irama tanpa perubahan.Pikirnya masih melayang jauh menembus batas gunung batu kapur dihadapan mata.

Dan dari bayang-bayang panas matahari matanya menembus kedepan. Nampak dari kejauhan tiba-tiba Sueb melihat Tini. Istrinya. Helaan nafas kembali ia lakukan. Sandaran punggungnya bergetar. Wajahnya berseri ketika melihat Tini mendekat padanya. Wanita sederhana yang ia kawini sejak berusia 30 tahun. Kini sudah 35 tahun Tini mendampingi separuh riwayat hidup Sueb. Kesederhanaanlah yang menggugah hati Sueb untuk memiliki Tini. Sikapnya mewakili wanita perkasa dan santun dari tanah Jawa. Dalam sandaran, Sueb memberi sambutan hangat pada istrinya. Lalu terdiam.

‘’Apa yang ada dibenak bapak,hingga terdiam membeku’’.Ujar istrinya

Sueb tetap terdiam, mungkin istrinya mampu membaca geliat dalam pikiranya. Dibawah pohon mahoni wajah lusuh berkeringat. Seakan aliranya berlahan turun pada lehernya. Tanganya mengipas topi hitam yang selalu menahan kepala Sueb dari terik. Warna topi itu pudar sewajar berpadu dengan keringat. Helaan nafas ia nikmati.

‘’ Bapak teringat Si Rahmat’’. Kalimat itu sejenak keluar dari mulut Sueb. Suaranya lirih mendesir angin. Tatapannya menerpa mata istrinya. Tini tertunduk dan segera menatap mata suaminya. Wajahnya raut kesedihan. Mata berkaca linangan air mata.

‘’ Ibu juga pak’’. Naluri keibuan yang ada dari seorang Tini muncul ketika kesedihan yang dialami berbenak pada fikirnya.

Sembari duduk berhadapan,Tini menyiapkan makan siang yang ia bawa dari rumah. Tangan halusnya menyodorkan pada Sueb makanan itu. Sayur asem dan sambal trasi kesukaan suaminya sudah berada dihadapan Sueb. Walau hanya sayur asem yang berisikan kulit melinjo dan kacang panjang yang Tini petik dari kebun tetangga belakang rumah. Berharap suaminya akan menyantap masakannya.

‘’Silahkan pak, ini sayur asem kesukaan bapak’’. Tini memberi senyum hangatnya. Tanganpun diraih Sueb. Segera ia menyantap dengan lahap. Satu rantam nasi pun telah mengisi perut kosongnya itu. Keringatnya bertambah ketika sambal trasi berada pada mulutnya. Seakan bercampur dengan kelelahan. Tangan lembut Tini mengusap mesra keringat itu.

Kegelisahannya mereda. Rasa lapar yang mendera kini sudah tak terasa. Kembali ia mengipaskan topi kesayanganya. Angin sepoi menerpa lelahnya. Bercampur keringat. Diambillah dari kantong celana sebuah bungkusan plastik hitam berisikan tembakau serta kertas perekatnya.

Dengan berlahan ia ambil selembar papir dan menata rapi tembakau kesukaannya. Kedua tangannya melinting terapan tembakau berbungkus papir itu. Berlahan. Selesailah lintingan rokok yang ia lakukan. Kebiasaan yang tak pernah dilewati,ia mencium rokok lintingannya itu dengan penuh perasaaan senang. Keharuman tembakau yang ia beli dipasar sangat menggugah selera lelaki tua itu. Sungguh bahagia dalam benak Sueb ketika aroma harum tembakau masih bisa ia rasakan. Dalam benaknya bergumun bahwa tembakau di Indonesia memang kualitas tinggi. Hingga khas aromanya tak patut untuk dilewatkan. Terus mencium rokok lintingannya dari ujung hingga pangkal. Segera ia keluarkan korek kecil dari kantong celana. Membiarkan ibu jarinya menggesek pelatung dari korek api. Mulutnya yang terselip rokok langsung mendekat pada percikan api. Hisapannya penuh rasa. Berirama tanpa tersendat oleh usia.

Istrinya hanya memperhatikan kebiasaan suaminya. Hal yang biasa terjadi pada setiap lelaki, begitu juga dengan suaminya. Sungguh tak bosan bila saban hari Tini menyaksikan kebiasan usang yang dilakukan suaminya setelah makan. Pasti tak lepas dari tembakau. Rantam berisi makanan sudah kosong. Tanda bahwa suaminya memang telalu lelah serta lapar untuk mengais rupiah dari batu kapur.

Nafasnya telah berirama sempurna. Lelah yang dirasa telah pergi,kini kembali memecah batu kapur. Tubunya ditegakkan kembali. Palu segera digapai dengan semangat baru. Ayunan tinggi palu dibenturkan pada batu kapur. Sedikit demi sedikit terpecah. Walau sampai dengan setengah hari batu yang terkumpul masih sedikit. Istrinya tak beranjak pulang masih melihat suaminya memecah batu. Perasaannya berkecamuk melihatnya. Tini tak lekas diam,ia segera memdekat dan membantu memecahkan batu kapur dengan palu cadangan yang suaminya bawa. Keduanya terus bergantian memecahkan batu kapur. Meski keras mereka tetap memukulkan mata palu. Hingga irama benturannya menyerupai tetabuhan. Terik tak bergeser sejengkal dari mereka. Nafasnya tersengal,keringatnya kembali bergumal pada pakaian mereka.

Sejenak terhenti.Tini mengusap matanya. Sueb pun berhenti mengayunkan palunya. Melihat istrinya terdiam menggosok mata.

‘’ Kenapa bu?’’.Tanya suami pada istrinya.

‘’ Nampaknya ada serpihan batu yang mendarat dimata ibu’’. Dengan sedikit meraskan pedih Tini menjawab pertanyaan suaminya. Mendekatlah Sueb pada Tini. Segera ia letakan palu dibebatuan. Meraih wajah Tini dengan pelan. Tangannya seakan meraih mata sebelah kanan Tini yang terdapat serpihan batu itu. Bibirnya didekatkan pada mata Tini. Tiupan serentak dirasakan Tini pada matanya. Indah mata Tini berkedip merasakan pedih. Sejenak merasa lebih baikan. Ucapan terimakasih muncul dari bibir Tini.

Sudah setengah hari memecahkan batu kapur, namun hanya sedikit yang mampu mereka kumpulkan. Tak seperti dulu ketika masih muda. Usialah yang menjerat raga mudanya dulu. Sungguh mereka menyadari keadaan fisik yang terbatas. Ayunan palu keduanya terhenti. Nampaknya hari telah sore. Bergegaslah mereka dibawah pohon mahoni. Tubuh yang letih ia tanggalkan dengan duduk saling bersandar.

‘’ Ibu lelah pak,,,!’’.Penuh resah dan lemah Tini mengeluh pada suaminya.

‘’ Bapak tahu itu bu. Sudah 30 tahun saban hari bapak memecah batu, tapi tak sedikitpun bapak mengeluh. Kita hidup didunia dengan penuh tantangan dan cobaan. Hanya bagaimana kita bisa menyikapinya dengan rasa syukur terhadap Sang Pencipta’’.

Keduanya masih tetap bersandar memandang jauh kedepan, tatapan yang penuh dengan harapan. Hingga sejenak lelah keringatnya berbaur menghilang oleh desir angin. Tini dengan mesra merengkuh pada pundak suaminya. Meski kaos yang digunakan Sueb telah basah oleh keringat. Terlihat linangan air mata menetes tajam dipipinya. Tersedu menyadarkan pada Sueb bahwa istrinya kembali bersedih.

‘’ Apa yang kau rasakan hingga air mata itu berlinang?’’.Penuh lirih dan mesra Sueb mendekat pada istrinya.

‘’ Benar pak,,ternyata ibu mengingat anak semata wayang kita Si Rahmat. Rambutnya yang keriting seperti rambut bapaknya, sungguh ibu tak bisa lepas dari bayang anak kita’’.

‘’ Bapak tahu itu bu, tapi kita tidak bisa terlalu berkutat pada kesedihan. Biarlah Si Rahmat tenang disana. Bapak percaya Rahmat ditempatkan pada tempat yang mulia.Meski ibu hanya sempat menggendong Rahmat selama satu bulan, tapi ia bahagia disana bu. Tak seperti kita disini hidup dalam kesederhanaan’’. Penuh lirih Sueb menenangkan hati istrinya.

Semenjak lahir Rahmat didera penyakit berbahaya. Hingga hanya merasakan udara didunia selama satu bulan saja. Rasa bimbang sempat dirasakan. Usaha maksimal sudah mereka tempuh.Hingga mendatangkan tabib,Memang Sang Pencipta berkehendak lain. Hingga kehilangan anak semata wayng mereka.

Keduanya saling berpelukan dihiasi senja memerah yang menutupi gunung batu kapur. Dibawah sinar kemerahan berlahan tegak berdiri. Terasa dikulitnya menetes gerimis keabadian. Membasahi keronta tanah dan tubuh renta keduanya.Terguyur raganya bercampur keringat menetes gersang tanah kapur.Pelukan erat Sueb pada istrinya menepis dinginnya air hujan. Berlahan mereka menerpa hujan untuk segara kembali ke perasingan,berharap agar esok hari lebih menuai penghasilan. Dan asap dapur mengepul kembali.

Kesederhanaan kunci kebahagiaan hari-hari tua. Meski tak tahu siapa yang akan merawat dikala mereka tua. Hanya senyum Rahmatlah yang mampu memecahkan suasana. Dikala susah. Walau kini mereka tak dapat lagi menyaksikan senyum yang manis itu. Masih teringat dalam benak. Sekilas senyum sikecil bernama Rahmat

Diusapnya air mata dari pipi. Tangannya membawa palu serta rantam menapaki semak pulang menuju gubug kesejahteraan keduanya.

Masih terguyur suasana petang.Tak ada ubahnya bebatuan kapur didera hujan. Tetap kokoh menjulang tinggi. Sekokoh kehidupan Sueb dan Tini.

tentang teater akar

Teater Akar adalah kelompok teater di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Pancasakti Tegal, didirikan 29 Maret 2008 oleh Samsul Arifin yang didukung oleh beberapa dosen.Teater Akar telah menjelajahi pementasan antara lain:

1. Produksi Film Indi ‘’ JATIWARU’’ karya/sutradara :Yusup U/Rasdani S, dalam festival film independen Jawa Tengah , pada tanggal 09 Juni 2008

2. Pementasan Akhir Tahun ”PENTAS JABAT KARYA” dipanti Asuhan Suko mulyo tegal tanggal 31 Desember 2008

3. Pentas Dratisasi Puisi ’’NJAGONG BARENG SASTRAWAN TEGAL’’ Di Auditorium UPS Tegal, pada tanggal 27 November 2008

4. Pentas Dramatisasi Puisi 3 Bahasa Musda Imm Se Jateng Digedung Dakwah Slawi,pada tanggal 29 Januari 2009

5. Pementasan Kolaborasi Teater Ketoprak ’’ROROJONGGRANG I’’Naskah/ sutradara :Slamet HS/Seful M , di Gedung Kesenian Tegal ,pada tanggal 30 Mei 2009

6. Pementasan ”RONGGENG DUKUH PARUK”,Karya/Sutradara :Akhmad Tohari/Samsul Arifin Di Gedung Rakyat Slawi,pada tanggal 14 Juni2009

7. Happening Art di Seminar Mahasiswa Se Jateng di Islamic Center Brebes

8. ”SENANDUNG RINDU” Musikalisasi Puisi pada Halal Bi Halal Pendidikan Ekonomi di MKU UPS Tegal,pada tanggal 03 Oktober 2009

9. Pentas Memperingati Hiv/Aids( Monolog,Musikalisasi Puisi,Teater,Wayang Mbeling)di Auditorium UPS Tegal,pada tanggal 01 Desember 2009

10. Pentas Seminar Internasional,Pertemuan Ilmiah Bahasa Sastra Indonesia Xxxi Se Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta’’ROROJONGGRANG II’’karya/sutradara :NN/Seful M,di Hotel Duta Wisata Guci Tegal ,Pada Tanggal 11 November 2009

11. Pentas ’’NJALUK SUNAT ’’karya/Sutradara:Lukman Alfaris/Seful M,di Desa Cibelok Kec.Taman Pemalang Pada Tanggal 28 Desember 2009

12. Pentas Keliling ”NJALUK SUNAT 2” karya/Sutradara:Lukman Alfaris/Budi Lukito, di STAIN Pekalongan, POLTEK PRATAMA Purwokerto, Gedung Kesenian Tegal, Tanggal 15 Maret – 20 April 2010

13. Pentas Seminar Enterpreuneurship ”GAPLEK” Karya/Sutradara: Lukman Alfaris/Budi Lukito, di Auditorium UPS Tegal, pada Tanggal 27 Maret 2010

14. Pagelaran Gong Pasar Seni, Launching Buku Sjk Edisi 12 Dan Orkes Puisi ”Duka Cinta Indonesia” Anis Sholeh Ba’asyin ( Sampak GusUran ) dari Pati, di Auditorium UPS Tegal pada Tanggal 25 Mei 2010

15. Pentas memperingati 1000 hari wafatnya W.S Rendra Sajak Sebatang Lisong bersama Teater Qi kota Tegal, Lakon/sutradara : ”ADA TOKEK”/Rudi Iteng di Taman Budaya Jawa Tengah Solo pada tanggal 4 Juli 2010

16. Ikut serta dalam Pawai Budaya seJawa Tengah bersama Dewan Kesenian Kota Tegal di Semarang pada tanggal 7 Juli 2010

17. Produksi film Indie dan dokumenter, Judul ”MARDIYAH”, ”KERINGAT BATU KAPUR”, ”SEMANGAT KARANG BAHARI”, pada tanggal 20 agustus 2010 di desa Kramat kec. Jatibarang kab. Brebes

18. Workshop Teater di Banten ART Festival, Rumah Dunia Kampung Ode, Serang Banten. Tanggal 14-17 Desember 2010

19. Pentas ”PARA JAHANAM” Sutradara: Budi Lukito, di Auditorium UPS Tegal, pada Tanggal 30 Januari 2011

20. Pentas Keliling Part.II, Lakon "BARABAH" Karya: Motinggo Busye Sutradara: Seful Mu'min. Di Auditorium Ups Tegal, Gedung Kesenian Kota Tegal, Auditorium Unikal Pekalongan, Auditorium FIB Undip Semarang. pada tanggal 23 Maret - 2 April 2011.

Senin, 07 Maret 2011

RETORIKA MALAM

Hujan kala itu , membawa kenangan dua insan

Rintik berdebu gelora lelahku,tentang rasa

Tentu pada sang kasih 

Aku tanggalkan nama-nama itu :

Ratih,Irma,Erna,Salis

Mungkin sekian itu yang menghiasi warna kelabu ku

Tak lebih dengan Si " y '',Si '' F '' Si '' S '',Si "I''.

Selalu megiringi walau tanpa gegelisahan

Sungguh,,,

Rasa itu telah aku kenang,kini kekecewaan mendera

Tentang apa yang kita kenang dulu

Tentang apa yang kita rindu dulu

Tentang apa yang kita lakukan bersama dulu

Tentang canda,,,

Tentang kesedihan,,

Membicarakan kesedihan , kehidupan bahkan tentang irama malam.

Aku tidak kalah dalam rasa,tapi menunda keindahan ku saja....

Jumat, 04 Februari 2011

SEMANGAT YANG TERTIMBUN BUKU-BUKU

Esok,kemarin dan hari ini

Aku menjadi seperti sang proklamator

Tanpa disadari muncul dalam diri

Semangat kecil yang mungkin bisa merubah zaman

Zaman yang mengagungkan tempo dulu

Karya dulu,inspirasi dulu

Bukan Zaman sekarang

Terlalu terbuai oleh nostalgia semata

Mungkin tak tersadar semangat itu terrimbun oleh buku-buku

teori-teori tak bertuan.

Sungguh sebagian itu hadir,menjelma bagai metamorfosa baru.

aku bagia dari sejarah ini mungkin......

Berangsur merintis tapi tak reiris

oleh tangis bahkan sesuatu mimpi.

Aku semangat itu...

Yang tertimbun buku-buku.